Belajar Bahasa Arab [25]
Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, alhamdulillah pada kesempatan ini kita dapat bertemu kembali untuk melanjutkan pelajaran ilmu kaidah bahasa arab. Pada bagian sebelumnya telah kita bahas tentang isim-isim yang mabni; yaitu isim yang akhirannya tidak bisa berubah. Isim mabni mencakup; isim dhomir, isim maushul, isim istifham, isim syarat, dan isim isyarah. Berikutnya, kita akan membahas seputar bentuk-bentuk isim ditinjau dari ilmu tashrif. Hal ini penting untuk diketahui sebelum membahas ilmu shorof atau tashrif lebih dalam.
Dalam ilmu tashrif -yaitu ilmu yang membahas pembentukan kata- ada istilah isim jamid dan isim musytaq. Isim jamid adalah kata benda yang tidak memiliki bentuk kata kerja yang semakna. Misalnya kata ‘asad’ artinya ‘singa’. Ini adalah contoh isim yang jamid/beku, ia tidak memiliki bentuk kata kerja/fi’il. Berbeda dengan kata ‘kaatib’ artinya ‘penulis’. Isim ini disebut sebagai isim musytaq; kata jadian. Karena ia memiliki bentuk kata kerja, yaitu kata ‘kataba’ artinya ‘menulis’. Isim-isim yang musytaq ini ada bermacam-macam, diantaranya adalah isim fa’il/bentuk pelaku.
Isim fa’il adalah kata benda yang bermakna ‘pelaku’ dari suatu perbuatan. Misalnya ‘dhaaribun’ artinya ‘orang yang memukul’. Ia berasal dari kata ‘dharaba’ artinya ‘memukul’. Contoh lain adalah kata ‘saami’un’ artinya ‘orang yang mendengar’. Ini adalah isim fa’il/bentuk pelaku, berasal dari kata ‘sami’a’ artinya ‘mendengar’. Nah, isim fa’il ini termasuk dalam kelompok isim musytaq.
Selain itu, ada juga isim maf’ul yaitu kata benda yang bermakna ‘orang atau sesuatu yang dikenai perbuatan’. Misalnya kata ‘madhruubun’ artinya ‘orang yang dipukul’. Ini adalah isim maf’ul berasal dari kata ‘dharaba’ artinya ‘memukul’. Contoh lagi kata ‘maktuubun’ artinya ‘sesuatu yang ditulis’ berasal dari kata ‘kataba’ artinya ‘menulis’. Nah, ‘maktuubun’ ini disebut sebagai isim maf’ul.
Perlu juga diketahui tentang isim mashdar yaitu kata benda dari kata kerja atau kata kerja yang dibendakan. Misalnya kata ‘dharban’ artinya ‘pemukulan’ ia merupakan isim mashdar dari kata ‘dharaba’ artinya ‘memukul’. Contoh lain adalah kata ‘qatlan’ artinya ‘pembunuhan’ ini merupakan bentuk kata benda dari kata kerja ‘qatala’ artinya ‘membunuh’. Jadi intinya isim mashdar adalah kata benda dari kata kerja atau kata kerja yang dibendakan.
Kita juga perlu membedakan antara istilah fa’il dengan isim fa’il, demikian juga maf’ul bih dengan isim maf’ul supaya tidak terjadi kerancuan dalam memahami istilah. Fa’il seperti sudah kita bahas sebelumnya adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il dan menunjukkan orang yang melakukan perbuatan. Intinya fa’il adalah pelaku dari perbuatan sehingga ia harus dibaca marfu/diakhiri dengan dhommah’. Ini adalah bidang pembahasan ilmu nahwu. Adapun isim fa’il seperti sudah dijelaskan di atas merupakan bentuk kata benda yang bermakna pelaku/bentuk pelaku, misalnya ‘kaatib’ artinya ‘penulis’. Dan ini adalah bidang pembahasan ilmu shorof atau tashrif.
Di sini jelas bagi kita bahwa fa’il merupakan jabatan kata yang harus dibaca marfu’, sedangkan isim fa’il adalah bentuk kata benda yang bermakna pelaku; ia bisa dibaca marfu’, manhsub, atau majrur tergantung kedudukan atau jabatan katanya di dalam kalimat. Misalnya kita katakan ‘dzahaba kaatibun’ artinya ‘telah pergi seorang penulis’. Di sini kata ‘kaatibun’ dibaca marfu’ mengapa? Karena ia menempati posisi sebagai fa’il/pelaku. Dan kata ‘kaatib’ itu sendiri merupakan isim yang bermakna pelaku perbuatan yang kita sebut dengan istilah isim fa’il/bentuk pelaku. Artinya, jika misalnya ia menduduki posisi sebagai maf’ul bih maka ia dibaca manshub ‘kaatiban’. Penjelasan serupa juga bisa kita katakan dalam perbedaan antara maf’ul bih dengan isim maf’ul.
Demikian materi singkat yang bisa kami sajikan, semoga bermanfaat.
Unduh materi dari sini : belajar-25
Belajar Bahasa Arab [26]
Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Alhamdulillah kita berjumpa kembali dalam pelajaran ilmu kaidah bahasa arab. Pada bagian sebelumnya sudah dibahas tentang isim jamid dan isim musytaq. Isim jamid adalah isim yang beku; artinya tidak memiliki bentuk kata kerja. Adapun isim musytaq adalah isim yang merupakan bentukan dari kata kerja/kata jadian.
Pada bagian akhir-akhir dari program belajar kaidah bahasa arab 1 bulan ini insya Allah akan kita bahas seputar ilmu shorof secara ringkas. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, bahwa ilmu nahwu membahas keadaan akhir kata di dalam kalimat dan jabatan setiap kata beserta i’robnya. Adapun ilmu shorof membahas pembentukan kata sebelum dimasukkan ke dalam kalimat.
Salah satu contoh penerapan ilmu shorof adalah perubahan kata dari fi’il madhi menjadi fi’il mudhori’ dan fi’il amr. Misalnya kata ‘dharaba’ artinya ‘telah memukul’; ini adalah fi’il madhi. Ia bisa diubah menjadi fi’il mudhori’ sehingga menjadi ‘yadhribu’ artinya ‘sedang memukul’. Kemudian, ia juga bisa kita ubah menjadi fi’il amr yaitu menjadi kata ‘idhrib’ artinya ‘pukullah’.
Dalam hal perubahan fi’il madhi menjadi fi’il mudhori’ perlu kita ketahui beberapa rumus atau pola perubahan. Pertama, ada yang mengikuti pola fa’ala – yaf’ilu misalnya ‘dharaba’ (telah memukul) menjadi ‘yadhribu’ (sedang memukul) seperti contoh di atas. Kedua, ada yang mengikuti pola fa’ala – yaf’alu misalnya ‘dzahaba’ (telah pergi) menjadi ‘yadzhabu’ (sedang pergi). Ketiga, ada yang mengikuti pola fa’ala – yaf’ulu misalnya ‘kataba’ (telah menulis) menjadi ‘yaktubu’ (sedang menulis). Dengan demikian kita bisa melihat bahwa untuk fi’il yang bentuk atau rumus fi’il madhinya fa’ala ternyata ada tiga jalur atau tipe perubahan. Ada yang menjadi yaf’ilu -seperti dharaba-yadhribu– , ada yang menjadi yaf’ulu -seperti kataba-yaktubu-, dan ada yang menjadi yaf’alu -seperti dzahaba-yadzhabu-.
Contoh lagi fi’il yang berbunyi ‘qatala’ artinya ‘telah membunuh’. Ini berubah menjadi apa? Yaf’ulu, yaf’alu atau yaf’ilu? Ya, untuk kata ‘qatala’ ia mengikuti rumus fa’ala – yaf’ulu, sehingga bentuk fi’il mudhori’nya adalah yaqtulu, bukan yaqtilu atau yaqtalu. Berbeda dengan kata ‘jalasa’ artinya ‘telah duduk’. Kata ‘jalasa’ ini apabila diubah menjadi bentuk mudhori’ menjadi ‘yajlisu’ artinya ‘sedang duduk’, bukan menjadi ‘yajlasu’ atau ‘yajlusu’; karena ia mengikuti bab fa’ala – yaf’ilu.
Kemudian bagaimana bentuk atau pola perubahan menjadi fi’il amr? Ya. Ini juga penting untuk dibahas. Apabila fi’il mudhori’nya mengikuti rumus yaf’ulu maka fi’il amr-nya mengikuti rumus uf’ul. Misalnya kata ‘yaktubu’ maka bentuk amr-nya adalah ‘uktub’ (tulislah). Apabila fi’il mudhori’nya mengikuti rumus ‘yaf’ilu’ maka bentuk amr-nya adalah if’il. Misalnya kata ‘yajlisu’ diubah menjadi bentuk amr sehingga menjadi ‘ijlis’ (duduklah). Dan apabila fi’il mudhori’nya mengikuti rumus yaf’alu maka amr-nya mengikutu rumus if’al. Misalnya kata ‘yadzhabu‘ diubah menjadi bentuk perintah sehingga menjadi ‘idzhab‘ (pergilah).
Kita ambil contoh lain. Misalnya kata ‘razaqa’ artinya ‘memberi rezeki’. Apabila diubah menjadi bentuk mudhori’ ia menjadi ‘yarzuqu’ (sedang memberi rezeki). Sehingga ia masuk bab fa’ala – yaf’ulu. Kemudian apabila diubah menjadi perintah maka ia menjadi ‘urzuq’ (berikanlah rezeki). Karena ia berasal dari yaf’ulu maka amr-nya adalah mengikuti rumus uf’ul. Kata ‘yarzuqu’ diubah menjadi perintah menjadi ‘urzuq’ -mengikuti rumus uf’ul– sehingga tidak boleh dibaca irziq atau irzaq. Sebab ia sudah mengikuti jalur yaf’ulu. Kalau mudhori’nya yaf’ulu amr-nya harus uf’ul.
Demikian pembahasan singkat yang bisa kami sajikan, semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq.
Unduh materi dari sini : belajar-26
Belajar Bahasa Arab [27]
Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Alhamdulillah kita bisa berjumpa kembali dalam pelajaran kaidah bahasa arab. Pada bagian sebelumnya sudah dibahas tentang contoh-contoh rumus perubahan fi’il madhi menjadi fi’il mudhori’ dan fi’il mudhori’ menjadi fi’il amr.
Berikutnya kita akan mengenal lebih luas tashrif untuk fi’il madhi. Tashrif ini dikenal dengan istilah tashrif lughowi. Fi’il madhi atau kara kerja lampau bisa ditashrif atau diubah bentuknya sesuai dengan kata ganti pelakunya. Misalnya, untuk kata ganti orang pertama ‘ana’ artinya ‘saya’. Kata ‘kataba’ artinya ‘telah menulis’. Apabila kata gantinya ‘ana’/saya maka kita katakan ‘katabtu’ artinya ‘aku telah menulis’. Apabila kata gantinya ‘nahnu’ (kami) maka kita katakan ‘katabnaa’ artinya ‘kami telah menulis’. Ini untuk orang pertama; saya dan kami.
Untuk orang kedua, ada enam kata ganti dalam bahasa arab; anta (kamu 1 lelaki) maka kita katakan ‘katabta’ artinya ‘kamu telah menulis. ‘antuma’ (kalian berdua lelaki) maka kita ubah menjadi ‘katabtumaa’ artinya ‘kalian berdua telah menulis’. ‘antum’ (kalian lelaki banyak) maka kita ubah menjadi ‘katabtum’ artinya ‘kalian lelaki banyak telah menulis’. Ini untuk kata ganti pelaku lelaki.
Untuk kata ganti pelaku perempuan; anti (kamu 1 perempuan) maka kita katakan ‘katabti’ artinya ‘kamu telah menulis (1 perempuan). Untuk kamu dua perempuan (antuma) kita ubah menjadi ‘katabtumaa’ artinya ‘kalian berdua telah menulis’. Dan untuk kalian perempuan banyak (antunna) kita ubah menjadi ‘katabtunna’ artinya ‘kalian telah menulis’ (perempuan banyak).
Untuk orang ketiga, ada enam kata ganti; huwa (dia 1 lelaki) kita katakan ‘kataba’ artinya ‘dia 1 lelaki telah menulis’. Untuk mereka berdua lelaki (humaa) kita ubah menjadi ‘katabaa’ artinya ‘mereka bedua telah menulis’ (lelaki). Untuk mereka lelaki banyak (hum) kita ubah menjadi ‘katabuu’ artinya ‘mereka telah menulis’. Ini untuk kata ganti pelaku lelaki.
Untuk kata ganti perempuan orang ketiga; hiya (dia 1 perempuan) kita katakan ‘katabat’ artinya ‘dia telah menulis’ (1 perempuan). Untuk mereka berdua perempuan (humaa) kita ubah menjadi ‘katabataa’ artinya ‘mereka berdua telah menulis’. Untuk mereka perempuan banyak (hunna) kita ubah menjadi ‘katabna’ artinya ‘mereka telah menulis’ (banyak perempuan).
Untuk memudahkan hafalan tashrif ini kita urutkan dari orang ketiga, lalu orang kedua, dan terakhir adalah orang pertama. Sehingga tashrif untuk kata ‘kataba’ ini akan berbunyi sebagai berikut : ‘kataba – katabaa – katabuu’, ‘katabat – katabataa – katabna’, ‘katabta – katabtumaa – katabtum’, ‘katabti – katabtumaa – katabtunna’, ‘katabtu – katabnaa’. Apabila kita artikan semuanya bermakna ‘telah menulis’ hanya saja berbeda kata ganti pelakunya.
Urutan kata gantinya secara berurutan dari orang ketiga adalah sbb : dia 1 lelaki (huwa), mereka berdua lelaki (humaa), mereka lelaki banyak (hum). Dia 1 perempuan (hiya), mereka berdua perempuan (humaa), mereka perempuan banyak (hunna). Kamu 1 lelaki (anta), kalian berdua lelaki (antumaa), kalian lelaki banyak (antum). Kamu 1 perempuan (anti), kalian berdua perempuan (antumaa), kalian perempuan banyak (antunna). Saya (ana), kami (nahnu).
Jadi misalnya kita katakan ‘katabtu’ artinya ‘aku telah menulis’. ‘katabnaa’ artinya ‘kami telah menulis’. Kalau ‘katabta’ artinya ‘kamu 1 lelaki telah menulis’. ‘katabti’ artinya ‘kamu 1 perempuan telah menulis’, dst. Demikian materi singkat yang bisa kami sajikan, semoga bermanfaat.